Blogger news

Rabu, 29 Juni 2011

Jejak Emas Para Ulama



Indonesia mempunyai sejarah yang penuh dengan ulama luar biasa.

Soekarno, dalam surat menyuratnya dengan A. Hassan, suatu ketika pernah mengritik kesalahan ulama dalam kaitannya tentang sejarah. Menurut Soekarno dalam suratnya yang ia kirim dari tempat pembuangannya di Endeh, kemampuan ulama menulis, terlebih lagi menulis sejarah, sangatlah kurang dan lemah.

“Umumnya kita punja kjai-kjai dan kita punya ulama-ulama tak ada sedikitpun feeling kepada sedjarah, ja, boleh saja katakan kebanjakan tak mengetahui sedikitpun dari sedjarah itu. Mereka punya minat hanjua menudju kepada “agama chususi” sahaja, dan dari agama chususi ini, terutama sekali bagian fiqh. Sedjarah, apalagi bagian “jang lebih dalam”, jakni yang mempeladjari “kekuatan-kekuatan masjarakat” yang “menjebabkan” kemadjuannja atau kemundurannja sesuatu bangsa,— sedjarah disini sama sekali tidak menarik mereka punja perhatian. Padahal, disini, disinilah pada penjelidikan maha-maha-penting. Apa sebab mundur? Apa “sebab” bangsa ini di zaman ini begitu? Inilah pertanjaan-pertanjaan jang maha penting jang harus berputar terus menerus didalam kita punja ingatan, kalau kita mempeladjari naik turunnja sedjarah itu.

Tetapi bagaimana kita punja kjai-kjai dan ulama-ulama? Tadjwid tetapi pengetahuannja tentang sedjarah umumnja “nihil”. Paling mudjur mereka hanja mengetahui “Tarich Islam” sahadja, — dan inipun terambil dari buku-buku tarich Islam jang kuno, jang tak dapat “tahan” udjiannja modern science, jakni tak dapat “tahan” udjiannja ilmu pengetahuan modern!” (Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I, tahun 1963)




Surat di atas dikirim Soekarno kepada A. Hassan tertanggal 14 Desember 1936, dari Endeh. Soekarno bisa jadi benar. Tapi bisa jadi pula, ia salah besar. Sebab, menurut banyak catatan, ulama-ulama Indonesia, bahkan generasi awal-awal dakwah di Indonesia, punya keilmuan yang tinggi dan kemampuan menulis yang luar biasa. Namun ada proses lain, yakni deislamisasi yang dilakukan oleh para penjajah, baik Portugis, Inggris, dan juga Belanda.

Menurut Abdullah bin Abdul Kadir al Munsyi dalam hikayatnya tentang Kerajaan Malaka yang ditulis pada abad ke-13 hijriah, ada aksi pemberangusan yang dilakukan oleh Belanda. Dalam hikayat tersebut dijelaskan, Belanda mengumpulkan buku-buku dan hikayat yang dihasilkan oleh komunitas Muslim dari berbagai wilayah Melayu. Daerah-daerah mulai dari Riau, Langka, Pahang Trengganu dan Kelantan dijarah kekayaan intelektualnya. Tak kurang dari 70 jilid hikayat dan karya para ulama dirampas penjajah. Entah berapa banyak lagi yang telah dirampas dari wilayah Sumatera, Jawa dan juga dari kepulauan Maluku.

Abdullah Munsyi juga menyebutkan, Stamford Raffles setidaknya turut mengumpulkan 300 judul hikayat yang ditulis oleh para ulama zaman itu. Penjajah dari Spanyol dan Portugis bahkan jelas-jelas telah membakar karya-karya klasik para intelektual Islam. Pembakaran tersebut menurut Munsyi dilakukan atas perintah Kardinal Gemenis.

Tentang pernyataannya itu, Soekarno sebenarnya perlu dikoreksi. Ulama-ulama awal Nusantara, adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka mempunyai kemampuan dan jaringan yang menakjubkan untuk zaman itu. Salah satu bukti yang menyatakan bahwa ulama silam punya kemampuan yang maksimal dalam penulisan sejarah ditunjukkan oleh tiga serangkai ulama yang cukup terkenal di masanya. Mereka adalah Nuruddin Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari yang hidup dan berkiprah pada abad-17. Nuruddin Ar Raniry, yang kini namanya diabadikan sebagai nama IAIN di Nanggroe Aceh Darussalam menulis dengan luar biasa sejarah perkembangan Islam Nusantara dalam risalah kuno berjudul Bustan as Salathin.

Dalam Bustan as Salathin bisa ditemui kisah-kisah “sedjarah” yang dimaksud Soekarno. Ar Raniry menuliskan tentang hubungan diplomatik antara kerajaan Islam di Aceh dengan Khalifah Utsmani di Turki. Ar Raniry mengisahkan, pada tahun 1562 di bulan Juni, seorang duta dari Aceh terlihat berada di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi serangan Portugis di Nusantara. Duta ini, menurut Ar Raniry, adalah sebagian kecil dari duta yang dikirim. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh Portugis di tengah Samudera. Isi kapal yang penuh dengan barang berharga seperti emas, permata dan rempah-rempah dijarah oleh Portugis. Sedianya, barang-barang tersebut adalah persembahan untuk Khalifah Utsmani.

Sepulang dari Istanbul, dikabarkan, sang duta membawa pula bantuan militer yang akhirnya membantu Aceh mengusir Portugis. Duta itu pula yang membawa izin, bahwa kapal-kapal Aceh boleh mengibarkan bendera Turki di perairan sebagai jaminan keselamatan.

Selain menulis Bustan as Salathin, Ar Raniry juga menulis karya-karya lain yang monumental. Ada pula Ash Shirathal Mustaqim yang juga kitab fiqh. Ar Raniry menulis tidak kurang dari 29 karya terdiri dari ilmu kalam, fiqh, hadits, sejarah bahkan sampai ilmu perbandingan agama, yang memang tampak menjadi minat terbesari Ar Raniry.

Al Singkili bahkan pernah menulis karya berjudul Mir’at at Thullab yang membahas masalah-masalah fiqh dan hukum. Di dalam karya ini dibahas tentang syarat-syarat dan aturan menjadi hakim dan penegakan hukum Islam. Al Singkili juga menulis tentang fiqh muamalat dan menulis tafsir al Qur’an dengan judul Tarjuman al Mustafid yang terbit untuk pertama kali justru di Timur Tengah dan bukan di Indonesia.

Sedangkan Al Maqasari yang mempunyai nama lengkah Syekh Yusuf al Maqasari punya kiprah tak kalah luar biasa. Ia pernah berkeliling ke banyak tempat di Nusantara, termasuk singgah di daerah Banten dan menetap di rumah sesepuh Ustadz Abu Ridha atau Abdi Sumaithi yang kini duduk sebagai salah satu anggota Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera. Di Banten, Al Maqasari mengajarkan agama lalu melanjutkan perjalanan ke Timur Tengah, sebelum mengakhiri usia di Cape Town, Afrika.

Ulama-ulama seperti Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari adalah para ulama awal Nusantara yang membawa pembaruan dan mengajarkan syariat Islam di mana saja mereka berada.

Hubungan diplomatik yang terbangun, sebenarnya adalah bentuk hubungan yang lebih muda dibanding hubungan sebelumnya. Sebelum hubungan ini terbentuk, ada hubungan awal yang lebih menentukan, yakni pengiriman dan pertukaran ulama-ulama. Ulama-ulama Timur Tengah dikirim ke Indonesia untuk memberikan dakwah, dan ulama-ulama Indonesia berangkat ke Makkah, Madinah dan beberapa kota ilmu lain untuk memperluas dan memperdalam ilmu agama.

Meski hubungan ini sudah terjadi sejak lama, namun pada generasi setelah Ar Raniry, jaringan ulama Indonesia dan Timur Tengah menemui puncaknya. Beberapa ulama yang sangat terkenal pada generasi ini di antaranya adalah, Syekh Abdus Shamad al Falimbani dari Palembang, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dari Kalimantan, Syekh Rahman al Batawi dari Betawi, dan Syekh Dawud al Fatani dari Patani, Thailand Selatan.

Beberapa ulama yang disebutkan di atas mempunyai jaringan yang kuat. Mereka pernah belajar pada saat yang bersamaan di beberapa kota di Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah. Ulama-ulama ini mempelajari banyak ilmu, mulai dari akidah, akhlak, fiqh, sejarah Islam, matematika hingga ilmu falakh atau astronomi.

Terbetik kisah, suatu ketika, Al Palimbani, Al Banjari, Al Batawi dan Al Bugisi dikabarkan meminta izin pada guru mereka di Makkah, Athallah al Mashri, untuk menimba ilmu ke negeri Nabi Musa, Mesir. Namun sang guru memberi nasihat lain. Mengejar ilmu memang sangatlah penting, tapi mengajarkan ilmu adalah hal yang juga tak bisa ditinggalkan. Lalu sang guru, Athallah al Mashri, meminta mereka untuk kembali ke tanah air dan mengajarkan Islam serta berdakwah di tempat masing-masing.

Namun mereka tetap berkunjung ke Kairo. Tidak untuk belajar memang, hanya berziarah ke negeri dengan peradaban tinggi ini. Setelah ziarah ke Kairo, kecuali Al Falimbani, ulama-ulama lain pulang kembali ke tanah air dan melanjutkan dakwah di tempat masing-masing.

Sebelum mereka menuju perjalanan masing-masing, Arsyad al Banjari dan Wahab al Bugisi sempat singgah di Betawi untuk mengantarkan Rahman al Batawi pada tahun 1773 masehi atau 1186 hijriah. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara menuturkan, dalam persinggahan tersebut, Al Banjari yang memang ahli dalam bidang astronomi dan matematika sempat meluruskan arah kiblat masjid-masjid yang terletak di dua daerah, Pekojan dan Jembatan Lima.

Setelah itu, para ulama ini berkiprah di daerah masing-masing. Kiprah paling menonjol tercatat dijalani oleh Muhammad Arsyad al Banjari yang langsung menduduki mufti Kerajaan Banjar saat sampai di wilayahnya. Sekembalinya Muhammad Arsyad ke Martapura, ia mendirikan pusat pendidikan Islam semacam pesantren di Jawa atau di Kalimantan. Lewat peran Muhammad Arsyad pula, Kesultanan Banjar mendirikan pengadilam hukum Islam yang pertama di Kalimantan. Muhammad Arsyad berusaha keras menerapkan dan menegakkan hukum dan syariat Islam di wilayahnya. Hal lain yang sangat luar biasa adalah, pada zaman itu, Muhammad Arsyad telah membicarakan penerapan zakat sebagai ganti peraturan pajak yang ditetapkan oleh Sultan Banjar.

Kisah-kisah di atas, hanya sebagian kecil saja dari ribuan kisah lain tentang peran ulama Indonesia. Sungguh, Muslim Indonesia mempunyai sejarah yang sangat dahsyat dan luar biasa.

Kita juga punya dasar dan pijakan yang sangat kuat untuk mengusung kembali pusaka yang telah hilang. Pusaka itu, tak lain dan tak bukan adalah hukum dan syariat Islam. Pondasi telah dibangun, tapi untuk beberapa lama kita lalai menjaga. Maka kini saatnya untuk memulai lagi dan membangun masa depan yang cerah, agar kerja para ulama terdahulu tak sia-sia. (Oleh Herry Nurdi/Sabili)

Jenderal Soedirman : Panglima Shalih dari Karang Nongko
Pejuang kemerdekaan yang mengobarkan semangat jihad, perlawa nan terhadap kezaliman, membekali dirinya dengan pemahaman dan pengetahuan agama yang dalam, sebelum terjun dalam dunia militer untuk seterusnya aktif dalam aksi-aksi perlawanan dalam mempertahankan kemerdekaan negeri. Mengawali karir militernya sebagai seorang dai muda yang giat berdakwah di era 1936-1942 di daerah Cilacap dan Banyumas. Hingga pada masa itu Soedirman adalah dai masyhur yang dicintai masyarakat.

Lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada tanggal 24 Januari 1916. Ayahnya seorang mandor tebut pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi Soedirman diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.

Ketika ia menjadi seorang panglima, Soedirman adalah seorang yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Memiliki semangat berdakwah yang tinggi, dan lebih banyak menekankan pada ajaran tauhid, kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa. Sebagai bagian dari hamba-hamba Allah, kepedulian akan kemurnian nilai-nilai ketauhidan terhadap masyarakat Jawa yang masih sangat kental dipengaruhi oleh adat istiadat. Menjadi suatu kegiatan dakwah yang memiliki nilai strategis, karena dengan cara itulah semangat jihad untuk melakukan perlawanan dalam diri rakyat dapat terpompa dan terpelihara. Termasuk bagi seorang Soedirman, yang memulainya dari kepanduan Hizbul Wathon bagian dari Muhammadiyah.




Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam sejarah militer Indonesia.

Sebagai kader Muhammdiyah, Panglima Soedirman dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa, dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhaan dan kebersahajaan. Sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya, dianggap terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan halus.

Seorang jenderal yang shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan ini ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan) bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang kemoenafekan.”

Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sewaktu berada di desa Karangnongko, setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan berhijrah. Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, dan ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.

Sebuah perjuangan yang penuh dengan kateladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua, anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan tentang dirinya melainkan berbuat dan berkata hanya untuk rakyat serta bangsa tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya. Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dicintai rakyat menutup hidupnya tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan seiring untuk kepentingan umat.

Bung Tomo : Arsitek Pasukan Bom Syahid
Cita-cita sejati seorang pejuang besar, ingin mendidik anak anak muda bangsa menjadi patriot bangsa. Baginya perjuangan tak memiliki arti, bila tak ada generasi penerus yang memiliki jiwa patriot.

Demikian sedikit dari bagian rencana masa depan seorang patriot bangsa yang lahir di Surabaya pada tanggal 3 Oktober 1920, dengan nama Sutomo dan dikenal oleh bangsa ini sebagai Bung Tomo. Sebagai pejuang memang tak henti-hentinya terus memikirkan nasib bangsa. Bung Tomo khawatir jika tak ada generasi penerus yang berjiwa patriot, maka bangsa Indonesia akan hancur dan tentu akan kembali di jajah dalam bentuk lain.

Jiwa patriot yang tertanam dalam dada Bung Tomo, adalah jiwa patriot yang lahir dari kekuatan iman seorang Muslim. Bung Tomo meyakini bahwa berjuang dengan niat ikhlas membela kemerdekaan serta kedaulatan bangsa atas nama Allah, maka tak ada satu pun kerugian yang ia dapatkan. Untuk itulah, saat pemerintah waktu itu dianggap terlalu lambat dalam menghadapi pergerakan Belanda yang membonceng sekutu, Bung Tomo bersama rakyat melahirkan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), dan sejak 12 Oktober 1945 ia menjadi pucuk pimpinan di BPRI.




Sebagai pejuang yang lahir dari kepanduan, ia telah dibekali pemahaman serta pengajaran agama yang matang. Bung Tomo, memegang teguh prinsip bahwa sebagai seorang pandu dan pejuang bangsa dirinya harus suci dalam perkataan atau pun perbuatan. Bekal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam setiap pergerakan perjuangannya, sehingga pekikan Allahu Akbar yang selalu terdengar dalam menyemangati perlawanan pemuda dan rakyat memiliki kekuatan sangat besar dan tak tertandingi.

Kalimat Allahu Akbar, serta semboyan merdeka atau mati syahid, merupakan semboyan yang sangat akrab diteriakkan melalui corong radio. Saat itu hanya ada dua orang besar yang mampu mengobarkan semangat perlawanan melalui pidato-pidato perjuangan, Bung Tomo dan Soekarno.

Kisah-kisah perjuangan yang sangat menarik banyak lahir dalam setiap kali terjadi aksi pertempuran, dan ini bukti dari pertolongan Allah kepada para tentaranya yang rela mengorbankan jiwa dan hartanya demi menegakkan nilai-nilai kebenaran. Sebagaimana yang dialami Bung Tomo dalam satu perang gerilya, bersama pasukannya saat sudah tak bisa lagi berbuat apa-apa karena pesawat Belanda ketika itu telah mengepung dari atas dan tak ada lagi tempat berlindung. Namun atas kebesaran dan kekuasaan Allah, gumpalan awan menutupi Bung Tomo beserta pasukannya yang berada dalam sasaran tembak pesawat-peswat tempur Belanda.

Inilah yang semakin mengokohkan jiwa perlawanan Bung Tomo. Semangat jihadnya terus meningkat, dan ia tanamkan kepada teman-teman seperjuangannya. Termasuk saat terjadi perisitwa 10 November 1945, Bung Tomo adalah penggerak perlawanan rakyat yang didukung oleh ulama-ulama Surabaya kala itu. Untuk itulah sebagai seorang pejuang besar yang bergerak bersama dengan pekikan Allah Akbar, Bung Tomo menjadi orang yang paling diinginkan Belanda. Bagi yang dapat menangkap atau pun membunuh Bung Tomo, Belanda menjanjikan hadiah besar.

Perjuangan kala itu benar-benar membutuhkan pengorbanan yang besar, dan salah satunya adalah pengorbanan jiwa dengan tulus. Di antara tahun 1945-1949, sebagai bentuk lain perjuangan, Bung Tomo membentuk pasukan berani mati, yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan jiwanya untuk menghancurkan tentara sekutu dan Belanda yang ingin kembali menancapkan kukunya di bumi pertiwi. Suasana revolusi saat itu, benar-benar melahirkan banyak jiwa-jiwa patriot. Sehingga Bung Tomo pun sangat terharu ketika seorang pemuda dengan perawakan lusuh dan datang jauh dari Surabaya, sekadar ingin bergabung menjadi pasukan bom syahid yang siap meledakkan dirinya ke arah tank-tank penjajah.

Pasukan bom syahid yang dibentuk oleh Bung Tomo, adalah pasukan terlatih dan benar-benar ditempa keimanannya. Termasuk pemuda yang telah mengesankan Bung Tomo, ia menjadi bom syahid pertama yang menubrukkan dirinya ke tank Belanda. Dan bersama dengan hancurnya tank tersebut, bersamaan itu pula lahir satu syuhada yang menjadi bunga bangsa dan teladan bagi siapa pun yang mengaku sebagai pejuang bangsa dan agama.

Sebagai seorang pejuang yang berjuang bersama buruh, petani, tukang becak dan rakyat jelata lain, Bung Tomo tetap mempertahankan kehidupan bersahaja, dan tak pernah mau menerima dalam bentuk apa pun fasilitas dari pemerintah setelah revolusi kemerdekaan usai. Bung Tomo tetaplah pejuang yang memikirkan rakyatnya, memikirkan bangsanya. Pengabdian terhadap bangsa dan negara tetap ia teruskan, semua demi satu tujuan dan keyakinan bahwa surga akan menanti di hadapannya.

Tanggal 16 Okotober tahun 1981, setelah melaksanakan wukuf di Arafah dalam rangkaian ibadah haji, Bung Tomo yang dilahirkan sebagai pejuang bangsa menutup usianya di tempat suci dan pada hari yang dimuliakan oleh Allah (Oleh Fadli Rachman)

Rahim Yang Melahirkan TNI

Oleh : Let-Jen.TNI(Pur)Z.A.Maulani
Perang Asia Timur Raya Dai Toa no Senso- pecah diawali dengan serangan armada laut dan udara Kekaisaran Je-pang ke Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941. Jepang terpancing oleh provokasi presiden Franklin Roosevelt yang mengeluarkan perintah untuk melakukan embargo atas seluruh perdagangan antara Amerika Serikat dengan Jepang terhitung mulai bulan Oktober 1941. Sejarah kemudian mencatat perintah embargo itu tidak lain dalam rangka memancing kemarahan Jepang. Serangan terhadap pangkalan angkatan laut terbesar di Pasifik tersebut ditujukan untuk menghancurkan armada Amerika Serikat yang ditugasi untuk melakukan blokade terhadap pasokan minyak bumi dari Asia Tenggara ke Jepang, terutama dari ladang-ladang minyak milik Teikoku oil Company di Kalimantan Timur (JM. Robert, “History of the World’, Oxford University Press, New York, 1992). Dalam tempo kurang dari satu jam “Pacific Fleet’ Amerika itu luluh lantak jadi puing. Dengan serangan itu pula “Dai Toa no Senso” dimulai. Armada kekaisaran bergerak dengan sangat cepat. Pada 216 Desember 1941 sebuah flotila telah berada di lepas pantai Miri, kota pertambangan minyak di negeri Sarawak. Bala tentara Kekaisaran Jepang mendarat di Kalimantan nyaris tanpa perlawanan. Setelah menyerang Davao di Filipina pada tanggal 12 Desember 1941, dua minggu kemudian pada tanggal 26 Desember 1941 Davao jatuh, dan panglima tentara Amerika di Filipina jenderal McArthur berhasil meloloskan diri melalui Corrigedor ke Australia, dengan kata-kata bersayapnya, “I will Return.”

Dari Filipina pasukan depan balatentara Jepang menyeberang ke Tarakan dan Balikpapan, dan merebut kedua kota minyak yang jatuh pada 24 Januari 1942. Dari Balikpapan dengan mengikuti jalan setapak pasukan depan balatentara Jepang dengan menggunakan sepeda bergerak dengan cepat ke arah selatan menuju tambang minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) di Murung Pundak, Kalimantan Selatan. Melalui jalan setapak Muara Uya, yang dijadikan sebagai pangkalan bagi pesawat pembom tempur mereka ke Jawa, serta melindungi kapal-kapal perang mereka yang mulai menguasai Laut Jawa. Dengan demikian hubungan antara Kalimantan dengan pulau-pulau lainnya terputus total. Panglima tentara KNIL, Jenderal Ter Poorten, meski demikian tetap sesumbar, “Beter staande stierven dan knielen leven.”(lebih baik mati berdiri daripada hidup dengan bertekuk lutut). Pertempuran Laut Jawa yang legendaris dan berlangsung selama sebulan itu menutup nasib Hindia Belanda.

Pada 27 Februari 1942, seluruh kekuatan laut Belanda yang tersisa dihabisi oleh Jepang di bawah komando Laksamana Kurita. Sisa armada Sekutu yang selamat, kapal perang HMAS Perth dari angkatan laut Australia dan USS Houston milik Amerika Serikat, melarikan diri ke Australia. Dalam pertempuran laut itu panglima angkatan laut Belanda Laksamana Karel Dorman tewas.

Sebulan sesudah hancurnya armada Sekutu dalam Pertempuran Laut Jawa, pada 8 Maret 1942, di Bandung, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jenderal Imamura, panglima Ryuku-gun ke-16. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenburg-Stachouwer menjadi tawanan perang di Cimahi.

Ryuku-gun ke-16 -Pemerintahan Militer di Jawa
Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Tokyo untuk para panglima di wilayah-wilayah pendudukan, Senryo Tochi Yoko (Garis-garis Besar Kebijakan untuk Wilayah Pendudukan), memuat direktif umum tentang politik pendudukan guna mendukung kemenangan perang. Berdasarkan dokumen tersebut Komando Ryuku-gun ke-16 di Jawa di bawah Jenderal Imamura, mengeluarkan sebuah kebijakan operasional yang berjudul “Saran-saran mengenai Status Masa Depan Pulau Jawa”. Isi dokumen tersebut antara lain, bahwa “...perlu merebut hati penduduk (Jawa) untuk lebih mampu mengembangkan sumber-sumber daya (untuk mendukung perang)”. Dari isinya tampaknya dokumen ini disusun oleh staf dari badan intelijen militer Jepang ’Sambobu Tokebetsu-har’ yang lebih dikenal dengan nama sandi mereka Beppan. Badan Intelijen ini sangat bersimpati dengan bangsa Indonesia, mengingat keberadaan mereka di Hindia Belanda sudah jauh sebelum perang meletus. Merekalah kemudian yang dikenal sangat membantu kaum nasionalis Indonesia, seperti LetnanYanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yomamura, serta seorang Muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono.

Mengingat jumlah penduduknya yang sangat besar, markas besar Ryuku-gun ke-16 menyimpulkan dukungan rakyat Jawa itu hanya akan dapat terwujud bila ada “kepastian tentang kemerdekaan” bagi wilayah Jawa dan Sumatera. Untuk kepentingan pengerahan dukungan masyarakat Ryuku-gen ke-16 di Jawa membentuk berbagai organisasi masyarakat, seperti Gerakan Tiga ”A”, Jawa Hoko-ka (Badan Kebaktian Rakjat Jawa). Poetera (Poesat Tenaga Rakjat), MIAI (Madjelisul Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian berubah menjadi Masjumi (Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia). Pendek kata untuk memenangkan usaha perangnya Jepang melakukan politisasi yang sangat intensif terhadap rakyat di Jawa dan Sumatera (Salim Said, Genesis of Power, 1942).

Terbentukya PETA
Tewasnya Laksamana Isoroku Yamamoto di atas pulau Bougainville dan kalahnya secara telak Armada Kekaisaran ke-1 dalam pertempuran merebut pulau Guadalcanal yang berlangsung sengit selama enam bulan, dari Agustus 1942 sampai Februari 1943, bukan saja menghentikan kemajuan mesin perang Jepang dan pasifik, tetapi juga membuat situasi perang berbalik (Ahmad Mansur Suryanegara, ‘Pemberontakan Tentara PETA’, Yayasan Wira Patria Mandiri, Jakarta, 1996).

Situasi baru yang tiada menguntungkan Jepang membuat Komando Ryuku-gun ke-16 makin bulat tekad melibatkan rakyat di Jawa untuk mendukung usaha perangnya. Untuk itu dengan menggunakan sepuluh orang nama ulama terkemuka di koran Asia Raja, terbitan 13 September 1943, diberitakan adanya “tuntutan” para alim-ulama tersebut agar pemerintahan Ryuku-gun ke-16, “segera membentuk tentara sukarela, bukan wajib militer, melainkan tentara yang akan membela pulau Jawa”. Para ulama itu adalah KH. Mas Mansoer, Tuan Guru H. Mansoer, Tuan Guru H, Jacob, H.Moh. Sadri, KH. Adnan, Tuan Guru H. Cholid, KH. Djoenaedi, Dr.H. Karim Amroellah, H. Abdoel Madjid, dan U. Mochtar. Mereka inilah bapak-bapak pendiri PETA.

Terpilihnya tokoh-tokoh di atas, didasarkan pada analisis Beppan. Badan intelijen militer Jepang menyimpulkan, untuk memperoleh dukungan maksimum dari rakyat Jawa, maka “tentara” yang akan dibentuk itu harus didukung penuh oleh potensi umat Islam di bawah pimpinan para ulamanya. Berdasarkan usulan Beppan itulah untuk jabatan komandan batalyon (dai dancho) direkrut dari kalangan ulama, untuk jabatan komandan kompi dan pleton (chodan-cho dan shudan-cho), direkrut dari pemuda berlatar belakang anak-anak ambtenaren (priyayi dan eks-pegawai guberneroen), sedang untuk para bintara (budan-cho) diambil dari pemuda Muslim bahkan panji-panji tentara Peta (daidan-ko) harus terlihat berjiwa Islam, yaitu bulan-bintang putih di atas dasar merah. Dalam struktur tentara Peta ada dua pertimbangan, yaitu kepentingan militer dan kepentingan politik, hal itu terlihat pada kebijakan rekrutmen personalianya. Para komandan batalyon (daidan-cho), dipilih dari kalangan alim ulama. Latihan yang diberikan sangat dasar, hanya taktik kecil (minor tactics) dan tidak diberikan pengajaran tentang administrasi dan logistik, karena Jepang mengkhawatirkan sekiranya pengetahuan itu diberikan akan memberikan kemampuan kepada satuan-satuan Peta untuk melakukan peperangan secara berlanjut sekiranya mereka sewaktu-waktu berontak terhadap Jepang. Sementara itu bagi para komandan bawahan, khususnya budan-cho dan hei-tai (prajurit) diberikan latihan militer secara spartan oleh para instruktur orang Jepang (sido-kan) menjadi militer profesional. Dari sini tampak para daidan-cho diharapkan menjadi simbol partisipasi politik umat Islam dalam ketentaraan Peta.

Umat Islam menyambut dengan gairah pembentukan Peta yang dikehendaki dengan harapan dapat menjadi instrumen batu loncatan menuju kemerdekaan penuh Indonesia. Setelah itu barulah dilakukan pelatihan pertama untuk membentuk para pelatih di Seimen Dojo Cimahi, Januari 1943. Selanjutnya pelatihan untuk korps perwira di Rensei-tai Cimahi dan Magelang Juli 1943, dan setelah itu peresmian terbentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Bo-ei Gyugun Kanbu Rensei-tai) disingkat PETA, di Bogor 3 Oktober 1943.

Terbentuknya TNI
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan lahirnya Republik Indonesia. Karena pertimbangan politik bahwa republik yang baru lahir ini cinta damai dan bukan bentukan negara fasis Jepang, pemerintah tidak menghendaki kesan itu ada pada Sekutu yang mulai masuk ke Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang. Untuk itu pemerintah tidak menghendaki adanya badan kemiliteran dalam negara Republik Indonesia yang dapat menimbulkan kecurigaan yang tidak diinginkan.

Tetapi perkembangan yang terjadi memperlihatkan bahwa sekutu bukan saja melucuti senjata Jepang tapi juga berdasarkan perjanjian London 1945 antara Inggris dan Belanda, Sekutu diberi pula tugas memulihkan kedaulatan Hindia Belanda di Indonesia. Dengan membonceng tentara Inggris, NICA (Netherland Indies Civil Administration) masuk sebagai lembaga persiapan untuk menegakkan kembali kedaulatan Belanda. Bentrokan senjata antara NICA, dan kadang-kadang dengan tentara Inggris yang melindungi mereka dengan lasykar rakyat tidak terhindarkan. Pertempuran paling sengit terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang dikenang sebagai Hari Pahlawan dan Bandung Lautan Api.

Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945, dua bulan setelah negara dan pemerintahan Republik Indonesia terbentuk, pemerintah menyetujui untuk meresmikan lasykar rakyat menjadi BKR (barisan keamanan rakyat). Banyak yang tidak menyadari bahwa pada tanggal 4 september 1945 Soekarno telah mengumumkan susunan kabinetnya yang pertama. Namun dalam susunan tersebut tidak mencantumkan adanya portofolio menteri pertahanan. Jadi, BKR dari namanya saja tidak diniatkan sebagai pasukan militer, tetapi hanya badan keamanan atau kepolisian yang tugasnya hanya membantu pasukan Sekutu memelihara ketertiban serta mengumpulkan tawanan Jepang dan orang-orang Eropa bekas tawanan untuk diserahkan kepada Sekutu.

BKR terdiri dari berbagai unsur perlawanan rakyat, pimpinannya sebagian berasal dari PETA yang didukung oleh 60 batalyon senapan, kemudian unsur perwira-perwira KNIL sebelum perang seperti Oerip Soemohardjo, Didi Kartasasmita, AH. Nasution, TB. Simatupang, Kawilarang dan lain-lain yang tidak membawa anak buah. Selebihnya adalah para pasukan Heiho, semacam hansip buatan Jepang. Sebulan sesudah itu, pada tanggal 11 November 1945 di Purwokerto atas prakarsa yang dipimpin oleh Oerip Soemohardjo, diadakan konferensi pertama para komandan BKR untuk membahas: pertama menghadapi kekacauan dan anarchie, kedua, atas usul dari Holland Iskandar, seorang mantan perwira Peta, untuk memilih seorang panglima besar BKR. Ada tiga panglima besar yang diajukan untuk memimpin BKR. Pertama Kolonel Soedirman dari kalangan santri dan seorang mantan guru Muhammadiyah di Cilacap. Kedua Oerip Soemohardjo yang merepresentasikan perwira-perwira KNIL. Ketiga Moeljadi Djojomartono dari unsur lasykar rakyat dari Barisan Banteng Surakarta. Lalu terpilihlah Kolonel Soedirman menjadi Panglima Besar BKR, kemudian TKR, terakhir TNI.

BKR sampai dengan TNI di masa perang kemerdekaan pada umumnya dipimpin oleh para panglima dan komandan dari Peta berlatar belakang ulama dan santri. Panglima Besar Soedirman misalnya, disebut oleh anak buahnya dengan panggilan kesayangan Kajine (Pak Haji). Ini merupakan satu penghormatan untuk beliau meski Pak Dirman sendiri belum haji.

Di Jawa Timur Komandan resimen BKR adalah KH. Hasyim Asy’ari, komandan batalyonnya KH. Yusuf Hasyim atau Pak Ud. Di Jawa Tengah komandan resimennya Kasman Singodimedjo. Di Jawa Barat komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk Singa Bekasi, KH. Noor Ali. Hampir tidak ada komandan resimen yang tidak bergelar “Kyayi Hadji” saat itu.

Setelah persetujuan Roem van Royen disepakati, diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda untuk membicarakan masa depan Indonesia. Konferensi tersebut pada tanggal 27 Desember 1949 menyepakati kemerdekaan, kecuali Irian Barat. Menyusul penyerahan kedaulatan tersebut, TB Simatupang yang menjabat sebagai kepala staf angkatan perang menyatakan,
“...kami sangat menyadari dampak dari perang gerilya. Dari pengetahuan kami, negara-negara yang merdekanya dari perang gerilya biasanya akan menghadapi kehidupan politik yang tidak akan stabil. Oleh karena itu, kami tiba pada kesimpulan, karena kami harus mendukung suatu pemerintahan sipil, dimana kami mendapatkan kesempatan untuk melakukan reorganisasi terhadap ketentaraan dan memberikan pelatihan kepada anggota sesegera mungkin sehingga jumlahnya dapat dikurangi. Dengan melaksanakan gagasan tersebut kami berharap tentara (yang lebih profesional itu) tidak akan menjadi sumber masalah lagi bagi pemerintah.”

0 komentar:

Posting Komentar